SAHABAT Sehati Sejiwa artikel kali ini adalah mengenai review novel. Sebuah novel yang manis walaupun terjalin konflik konflik yang sejenak membawa pada keharuan, detik lain nya membawa pembaca pada keromantisan yang manis.Tebal novel ini 266 halaman namun dengan gaya bercerita yang ringan, gaya bahasa yang efisien menjadikan novel ini tetap enak dinikmati.
Judul novel nya Naftali Pada Satu Festival. Ditulis oleh Ita Siregar dengan Endah Sulwesi sebagai penyunting serta diterbitkan oleh Sebermula pada tahun 2025.
Hidup sebagai cucu seorang konglomerat mestinya menyenangkan. Segala fasilitas tersedia. Bisa sekolah tinggi, liburan ke luar negeri, makan enak, naik-turun mobil mewah, bergaul dengan kalangan sosial yang setara. Namun, bukan itu yang dicari Naftali, cucu salah satu orang terkaya di Indonesia. Dia sama sekali tidak tertarik pada perusahaan-perusahaan kakeknya yang selama ini menjadi mesin uang bagi keluarga mereka. Gadis itu lebih memilih menjadi penulis daripada mengurusi bisnis sang kakek.
Pada suatu ketika Naftali menjadi sukarelawan di Ubud Writers and Readers Festival. Di sana dia bertemu banyak penulis terkenal, baik dari tanah air maupun luar negeri. Hal ini tentulah menjadi sebuah kegiatan yang menyenangkan baginya sebagai seorang penulis, apalagi kemudian dia juga berjumpa dengan Thiru, seorang pria India yang nyentrik dan berhasil menyentuh hatinya. Tak butuh waktu lama, kedua anak manusia itu saling jatuh cinta. Namun, perjalanan cinta mereka tidaklah semulus wajah para artis yang menggunakan skin care berlapis-lapis. Mereka beberapa kali terantuk kerikil di jalan cinta yang mereka susuri.
Novel karya Ita Siregar ini bergerak natural. Semua kejadian yang dialami tokoh-tokohnya bergulir wajar dari konflik ke konflik, bukan saja tentang Naftali dan Thiru, tetapi juga masalah-masalah para sepupu Naftali yang beraneka macam. Ada yang ribut soal agama. Ada yang berselingkuh. Ada yang terlibat utang, dan lain-lain. Problem-problem itu lazim dialami oleh kita atau orang-orang di sekitar kita, seperti adik, kakak, teman, atau tetangga kita.
Novel ini beraliran realis. Membacanya, kita seperti sedang mendengarkan kisah tentang sahabat kita. Tidak ada pesan moral yang ditebar terang-terangan. Tidak terasa ada upaya penulis untuk menggurui para pembacanya. Jika akhirnya kita merasa menemukan mutiara hikmah di dalamnya, itu adalah bonus.
Ita menulis saja dan bercerita dengan manis, lancar, dan memikat. Itu memang kelebihannya. Dia mampu menyuguhkan sebuah drama percintaan yang sebenarnya sederhana ini menjadi cerita yang enak dibaca sampai tamat dengan hati yang menghangat. Novel ini enak dibaca bukan karena diksi atau kalimat-kalimat yang penuh bunga. Bukan pula karena konflik yang berlebihan seperti sinetron yang aktornya berteriak-teriak dengan mata mendelik. Kisah dalam novel ini menjadi menarik justru karena ditampilkan secara wajar.
Selamat membaca.
Editor: Andri Herdiansyah
