RADIO STREAMING SEHATI - Di tengah pesatnya perkembangan dunia perfilman, Lembaga Sensor Film Indonesia (LSF) mengambil langkah inovatif untuk memastikan setiap film dan iklan film yang beredar di Indonesia memenuhi standar yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Dengan misi melindungi masyarakat dari dampak negatif konten audiovisual, LSF memperkenalkan aplikasi e-SiAS (Sistem Administrasi Penyensoran Berbasis Elektronik), sebuah terobosan digital untuk mempermudah proses penyensoran.
Aplikasi e-SiAS memungkinkan pelaku perfilman—mulai dari individu, komunitas, hingga rumah produksi—untuk mengurus semua tahapan penyensoran secara daring, dari pembuatan akun, pengajuan film, pembayaran, hingga penerbitan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). “Prosesnya cepat, maksimal tiga hari kerja, dan tidak perlu datang ke Jakarta,” ujar Tri Widyastuti Setyaningsih, Ketua Komisi I LSF, yang akrab disapa Wiwid, dalam acara literasi di Bandung, Rabu (9/7/2025).
Untuk mendukung transformasi digital ini, LSF gencar menggelar kegiatan literasi penyensoran di berbagai daerah, salah satunya di Bandung, Jawa Barat. Bertempat di sebuah hotel di kota kembang, acara ini diikuti oleh 100 peserta dari 24 komunitas film, perguruan tinggi, serta SMK dengan keahlian di bidang produksi film, broadcasting, dan siaran televisi. Kegiatan ini dibuka oleh Retno Raswaty, Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX Jabar, dan dihadiri oleh Wiwid serta Hairus Salim HS, Ketua Subkomisi Desa Sensor Mandiri dan Komunitas LSF.
Selain literasi, LSF juga mengadakan bimbingan teknis (Bimtek) pengoperasian e-SiAS, menyasar daerah-daerah dengan potensi perfilman tinggi seperti Bandung. “Kami ingin memastikan para sineas, dari profesional hingga pelajar, paham cara menggunakan e-SiAS dan mematuhi regulasi penyensoran,” kata Hairus. Ia menambahkan, literasi ini juga bertujuan meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sosial dan budaya dalam produksi film.
Dengan e-SiAS, proses penyensoran kini lebih efisien. Pelaku perfilman dari seluruh Indonesia dapat mengakses layanan ini kapan saja, baik untuk penayangan di bioskop, televisi, maupun platform streaming (OTT). “Jarak bukan lagi hambatan. Dari pendaftaran hingga STLS, semua bisa diselesaikan secara online,” jelas Wiwid. Aplikasi ini juga mendukung pembuatan akun oleh berbagai pihak, termasuk individu, komunitas, instansi pendidikan, dan rumah produksi.
Hairus menegaskan, kegiatan literasi ini bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga untuk memperkaya pemahaman masyarakat tentang perfilman dan peran LSF. “Film punya pengaruh besar terhadap budaya, sosial, dan pendidikan. Kami ingin insan kreatif di daerah merasakan kemudahan mendapatkan STLS dan membangun kebiasaan taat sensor,” ujarnya.
Kegiatan literasi dan Bimtek e-SiAS di Bandung menjadi bagian dari upaya LSF untuk mendekatkan diri kepada komunitas perfilman. Dengan pendekatan ini, LSF berharap tercipta ekosistem perfilman yang tidak hanya kreatif, tetapi juga bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Melalui e-SiAS, LSF tidak hanya memodernisasi layanan penyensoran, tetapi juga memperkuat kualitas dan kuantitas produksi film yang aman dan bermakna bagi masyarakat.***