RADIO STREAMING SEHATI – Pengesahan Geopark Kebumen sebagai situs Unesco disambut gegap gempita dalam pembukaan Geofest International Conference 2025, Rabu malam (9/7/2025). Namun, di balik sorak sorai kebanggaan, pernyataan Sekretaris Daerah Jawa Tengah, Sumarno, tentang pelestarian alam justru memicu tanda tanya besar: apakah ini komitmen serius atau sekadar retorika tanpa tindakan?
Dalam pidatonya, Sumarno menyerukan pelestarian kawasan Geopark agar tidak rusak akibat pembangunan yang serampangan. Ia menekankan bahwa status Geopark bukan hanya trofi prestise, melainkan tanggung jawab besar untuk menjaga kelestarian lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Geopark harus jadi model pengelolaan lingkungan berkelanjutan,” katanya di hadapan para pakar dari Malaysia, Korea Selatan, dan Thailand.
Namun, pernyataan ini terasa ironis bagi masyarakat Jawa Tengah yang sudah lama menyaksikan pembangunan yang kerap mengorbankan alam. Di banyak wilayah, termasuk di sekitar Kebumen, aktivitas pertambangan dan pembangunan infrastruktur masih meninggalkan luka lingkungan: erosi, banjir, hingga kerusakan ekosistem. Sumarno sendiri mengakui bahwa pemulihan alam bukanlah perkara cepat, tetapi minimnya langkah konkret dari pemerintah daerah untuk mencegah kerusakan menjadi sorotan.
Pernyataan Sumarno tentang pendekatan agama sebagai cara membangkitkan kesadaran lingkungan terdengar menarik, namun juga menuai skeptisisme. Ia menyebut bahwa merusak lingkungan adalah “dosa” karena menyebabkan penderitaan.
"Semua agama sepakat bahwa membuat orang lain menderita adalah dosa, dan merusak lingkungan yang menyebabkan penderitaan termasuk perbuatan yang berdosa," ungkapnya sebagaimana dilansir dari laman resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Tapi, tanpa kebijakan tegas seperti pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan ilegal atau proyek yang merusak, seruan ini terasa seperti ajakan moral yang kosong. Tantangan terbesar Geopark Kebumen adalah menjawab keraguan ini. Status Unesco seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola lingkungan, bukan sekadar stempel untuk menarik turis. Pemberdayaan masyarakat, seperti yang ditekankan Sumarno, memang penting, tetapi bagaimana hal ini bisa tercapai jika proyek-proyek besar masih mengabaikan dampak ekologis? Belum lagi, koordinasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat lokal sering kali berjalan pincang.
Masyarakat Jawa Tengah, khususnya di Kebumen, kini menanti bukti nyata. Geopark bisa menjadi harapan untuk pembangunan berkelanjutan, tetapi tanpa langkah tegas—seperti penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan atau investasi serius pada reboisasi dan edukasi—status ini berisiko menjadi sekadar papan nama tanpa makna. Pertanyaannya, akankah pemerintah daerah mampu mengubah pola pikir dan tindakan, atau Geopark Kebumen hanya akan jadi trofi yang dibiarkan berdebu?***